MENTERI
BARU TIDAK MESTI KURIKULUM BARU
Oleh Asep Safa’at Siregar, S.Sos.I
Oleh Asep Safa’at Siregar, S.Sos.I
Sudah
menjadi kebiasaan dinegeri ini jika terjadi reshuffle maka kebijakan barupun
akan muncul.. Sepertinya hal tersebut sudah menjadi trend bagi pejabat publik
kita. Padahal pejabat baru tidak mesti kebijakan baru jika kebijakan lama masih
dinilai baik. Kenapa demikian? Alasannya bermacam-macam namun yang palin
populer menurut hemat saya adalah agar dinilai punya gagasan baru yang briliant,
meski kenyataanya tidak demikian.
Jika
kita cermati bahwa suatu kebijakan dibuat untuk mencapai popularitas sementara.
Jika sudah dilantik, namun tidak punya ide baru maka diaggap tidak berhasil.
Maka mau tidak mau seorang pejabat publik yang baru dilantik pasti akan
melakukan perubahan kebijakan, keputusan dan undang-undang tanpa melihat
kemaslahatan dan manfaat bagi masyarakat. Masyarakat hanya sebagai sebagai
pelengkap penderita yang meraskan akibat dari kebijakan pemerintah. Seolah-olah
sudah menjadi keharusan yang tersirat jika tanpa gagasan baru maka dianggap
sebagai sebuah kegagalan.
Yang
paling memprihatinkan adalah nasib rakyat yang semakin terombang ambing. Karena
pada akhirnya masyarakatlah yang merasakan akibatnya. Saat dampak kebijakan
mulai terasa manfaatnya pada saat yang sama jika terjadi pertukaran personil
pejabat, maka beralih dan berubah pula kebijakan yang dibuatnya. Maka dapat dipastikan
seberapa banyak kebijakan dinegeri ini bisa dilihat dari seberapa banyak
pejabatnya. Karena setiap orang berbeda persepsi, beda pendapat, beda
kebijakan. Tak ubahnya rakyat jelata selalu menjadi alamat pelengkap penderita.
Misalkan
saja kurikulum pendidikan. Indonesia setidaknya sudah mengalami perubahan
kurikulum sebanyak 10 (sepuluh) kali. Yakni Kurikulum 1947 atau disebut Rentjana Pelajaran 1947, Kurikulum
1952 (Rentjana Pelajaran Terurai 1952), Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964), Kurikulum 1964, Kurikulum
1975, Kurikulum 1984 (Model Cara Belajar Siswa Aktif/CBSA),
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis
Kompetensi), Kurikulum 2006 KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan),dan Terakhir Kurikulum 2013 (K13).
Memang kita harus
menyesuaikan kurikulum sesuai dengan kepentingan bangsa dan perkembangan zaman.
Tapi bukan berarti setiap pergantian menteri pergantian kurikulumpun dilakukan. Jika yang terjadi demikian maka
pendidikan kita tidak terarah dan terkesan sistem coba-coba. Karakter generasi
bangsa tidak terbentuk sesuai harapan.
Kita belum lagi melihat
hasil dari sebuah proses kebijakan namun sudah terlanjur diganti. Pejabat di
negeri ini kebanyakan plin-plan dalam membuat kebijakannya. Barangkali ini
merupakan produk kurikulum pendidikan kita yang senantiasa berubah-ubah tanpa
kepentingan pendidikan yang jelas. Jauh lebih parah lagi jika perubahan
kurikulum ditumpangi politik partai atau golongan.
Secara seloro
kawan-kawan sesama guru pernah mengungkapkan bahwa pertukaran kurikulum tidak
lebih dari kepentingan proyek besar. Betapa tidak setiap pergantian kurikulum
maka pasti ada kegiatan sosialisasinya. Kemudian cetak buku sesuai kurikulum
yang diterbitkan. Mengadakan seminar tentang urgensi kurikulum baru dan cara
penerapannya, dan lain sebagainya. Berapa banyak biaya yang harus dikucurkan
untuk semua kegiatan itu?
Dilain hal, pengamatan
sebagai masayarakat awam ada diantara para pejabat hanya memikirkan bagaimana
agar partainya eksis dan dirinya populer. Negeri ini sudah membentuk karakter
pejabat yang selalu membuat sensasi agar eksis. Bahkan tidak segan-segan mengeluarkan
pernyataan yang kontroversi untuk mengundang perhatian masyarakat. Bak pepatah
Arab mengatakan “Bul ‘alaa zamzam fa ta’raf” (kencingi sumur zam-zam maka kamu
akan terkenal). Artinya jika ingin terkenal maka berbuatlah hal yang aneh-aneh,
atau hal yang tidak dilakukan oleh orang lain.
Kebijakan yang terlahir
adalah kebijakan populer. Populer yang belum tentu baik dan benar. Terlebih
jika alasan pemilihan menteri merupakan jatah dari partai pendukung pemerintah.
Maka akan sangat dikhawatirkan penyerahan suatu tugas bukan pada ahlinya tapi
pada pendukungnya.
Perlu ditelusuri bahwa
sudah menjadi rahasia umum di sebagian daerah bahwa kursi kepala sekolah
ditentukan oleh kepala daerahnya. Maka jika ingin menjadi kepala sekolah maka
dekatilah kepala daerahnya atau setidaknya ambil bagian dalam proses pemenangan
jadi kepala daerah. Jika ingin eksis jadi kepala sekolah maka mau tidak mau
harus memberikaan dukungan nyata dalam bentuk suara pada saat pemilihan kepala
daerah digelar. Bisa saja kepala sekolah diganti karena alasan rahasia umum
karena tidak mendukung kepala daerah yang terpilih. Jika hal ini berlanjut
tentu akan sangat berbahaya. Masa depan pendidikan kita sedang sakit kronis
yang butuh pembersihan dari kepentinga-kepentingan politik murahan dan sesaat.
Teringat sebuah anekdot
yang mungkin sudah populer dibaca diberbagai media sosial. Layakna anekdot
terasa lucu tapi mengandung kebenaran. Yaitu percakapan dua orang dosen yang memtuskan
harus lebih perhatian pada mahasiswanya yang IP nya dibawah 3,0. Karena
mahasiswa yang IP nya tinggi 3,0 ke atas maka kelak akan jadi dosen dan mitra
kerja. Sementara mahasiswa yang IP nya rendah, kelak dia akan jadi anggota
salah satu ormas, kemudian masuk partai dan akhirnya jadi menteri. Bukankah
menteri yang membuat kebijakan terhadap nasib para guru dan dosen? Setelah saya
amati makna yang terkandug dalam anekdot tersebut, rasanya sesuai dengan
kenyataan dan kondisi negeri ini.
Jika kita melirik
negara yang terkenal dengan kemajuan pendidikan terbaik didunia yaitu negara
Finlandia Berdasarkan survei Programme for International
Student Assessment (PISA) tahun 2000. Di Finlandia siapapun
yang menjadi presidennya dan menteri pendidikannya tidak akan berpengaruh
signifikan terhadap masa depan pendidikannya. Karena fungsi pemerintah dalam
memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas, bukan
perubahan kurikulum dan pencipta
undang-undang baru. Jadi kurikulum pendidikan dan kebijakan pendidikan lainnya
tidak terpengaruh pada hiruk pikuknya situasi politik negaranya.
Berbeda dengan negara
kita, jangankan pergantian presiden, reshuffle menteri pendidikan pun sangat
memungkinkan atau membuka peluang besar
untuk terjadinya pergantian kurikulum dan kebijakan pendidikan lainnya. Jadi
jika ingin merubah kurikulum pendidikan di negeri ini, salah satu jalan
pintasnya adalah masuklah menjadi anggota partai dan jadilah menteri, maka
tujuan kitapun tercapai. Mudah bukan?
Akhir-akhir ini muncul
berbagai persoalan setelah pergantian menteri dilakukan, mulai dari tawaran
sekolah full day, sertifikasi dihapuskan dan lain sebagainya. Bisa dipastikan
rumor ini muncul karena adanya pergantian menteri yang baru. Masyarakat
nampaknya sudah bisa membaca kebiasaan para pejabat dinegeri kita yang aji
mumpung dan kejar popularitas dan pencitraan.
Kita tidak merasa
keberatan dengan adanya reshuffle bahkan kita mendukung jika itu dilakukan
untuk menuju kearah yang lebih baik. Tapi sekali lagi hendaknya pergantian
tidak memunculkan masalah baru dengan adanya kebijakan baru nantinya. Jika
dinilai masih baik dan layak kebijakan pejabat sebelumnya, legowolah
melanjutkannya, berpihaklah pada kebaikan dan kemasalahatan khalayak ramai demi
kemajuan negeri yang kita cintai ini.
Sudah saatnya para
cendikiawan, para ilmuan dan penguasa di negeri ini duduk bersama dengan
melepaskan kepantingan politik partai, golongan dan pribadi untuk merumuskan
sistem pendidikan yang terintegrasi, punya sistem yang baik, terstruktur dan
independen.
Guru di Pesantren Modern Unggulan Terpadu “Darul Mursyid” (PDM), Tapanuli Selatan
*Tulisan ini telah terbit di Harian Metrotabagsel 18 Agustus 2016
*Tulisan ini telah terbit di Harian Metrotabagsel 18 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar