IKAN SULUM AJARKAN CARA BERNEGARA
Oleh Asep Safa’at Siregar
Sebagai warga negara masih banyak yang belum hidup sebagaimana layaknya. Bernegara namun tidak tahu cara hidup sebagai warga negara yang baik. Padahal kita telah diberikan akal untuk berpikir dan menggali hikmah dari alam sekitar kita. Belajar tidak hrarus disekolah, merenung tidak harus memajamkan mata. Kali ini kita akan belajar cara hidup dari ikan Sulum tentang bagaimana cara hidup bernegara dengan baik dan bertanggungjawab.
Ikan sulum adalah ikan air tawar yang berasal dari ekosistem sungai didaerah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Ikan sulum ini merupakan sejenis Ikan Mas, Siruan, Aporas, dan Sulum. Ikan jenis ini diduga berasal dari kedua sungai. Tidak ada refrensi yang menjabarkan secara rinci tentang ikan ini. Namun Keberadaannya diduga sudah mulai punah.
Dahulunya memang banyak sampai-sampai nama sulum dibuat menjadi nama kampung yakni Parsuluman. Diawali kata “par” dalam bahasa batak angkola itu berarti tempat (asal-sumber) dan diakhiri kata “an” bermakna penegasan arti dari kata “par” itu sendiri. Berati Parsuluman adalah sebuah tempat dimana ikan Sulum banyak dijumpai.
Filosofi Ikan Sulum
Ada beberapa hal unik dari ikan yang mulai langka ini. Mulai dari ciri dan karakternya yang bisa kita ambil sebagai bahan renungan pembelajaran dalam kehidupan nyata secara khusus kali ini dalam bernegara.
Pertama, Selalu mencari air yang jernih. Ikan ini tidak dijumpai di sungai yang keruh. Jikapun ada berarti sulumnya tersesat dan akan selalu mencari air yang jernih. Bagi kita orang yang berakal dan memiliki banyak kelebihan dibanding makhluk lain semestinya meniru sifat ikan sulum ini, yakni selalu mencari tempat yang bersih dan jernih.
Andaikata semua rakyat atau warga negara ini berlomba-lomba seperti ikan sulum ini tentu akan terasa damai dan tenteramnya hidup bertetangga, bermasyarakat, bernegara, berdampingan antara satu dengan yang lain. Apapun latar belakang suku, agama, pendidikan kita hendaklah selalu mencari kedamaian. Berkompetisi boleh saja asal tetap dengan cara yang benar dan tujuan yang baik pula.
Kedua, tidak betah di air keruh. Bila berada dilingkungan air yang keruh, ikan sulum akan berupaya terus menerus keluar dari kondisi tersebut. Ikan sulum tidak akan berlama-lama tinggal di air yang keruh. Seyogiyanya manusia yang lebih sempurna baik dari bentuk tubuh dan kemampuan harus lebih bijak dari ikan sulum. Kita tidak boleh berlama-lama dalam kekeruhan moral, apalagi menjadi penyebab keruhnya suasana. Idealnya kita harus selalu berupaya menciptakan suasana yang jernih (baik/damai), baik suasana dirumah, ditempat kerja, di lingkungan masyarakat, dan suasana beragama juga berbangsa.
Kita yakini bersama bahwa bila suatu kejahatan merajelala disebuah tempat dimana kita hidup dan bergaul, tanpa kita sadari lambat laun akan berdampak dan mempengaruhi kita secara tidak langsung. Maka tidak ada cara lain selain menjaga diri dan lingkungan dari segala perbuatan yang menyebabkan mudharat bagi diri sendiri maupun kepada lingkungan. Jika ada suatu masalah yang berpotensi menyebabkan kerugian baik secara moril maupun materil, hendaknya dengan sigap kita tidak berlama-lama didalamnya apalagi sampai membiarkannya.
Ketiga, tubuh yang relatif kecil, nampak jinak tapi lincah. Berkaitan dengan itu ada pepatah bijak mengatakan bahwa “Bobot seseorang tidak ditentukan oleh berat badannya tapi oleh ilmu yang dimilikinya.” Ukuran tubuh boleh kecil tapi hati tidaklah kerdil. Hati yang besar dan selalu bersyukur atas segala karunia Ilahi. Pendidikan bisa saja pendek tapi bukan berarti tidak boleh berbuat baik. Karena sungguh banyak dinegeri ini orang yang berpendidikan tinggi namun menjadi parasit bagi negaranya.
Pengetahuan agama belum mumpuni tapi bukan tidak boleh mengajak kebaikan. Ketinggian ilmu tidak selamanya mencerminkan akhlak mulia. Bukankah telah banyak kita saksikan mereka yang berlebel dengan bermacam sebutan gelar keagamaan, namun tidak membawa manfaat bagi masyarakat dimana ia tinggal. Jadilah ikan sulum yang nampak kecil tapi punya sifat yang mulia.
Jabatan yang rendah dan kedudukan yang tidak diperhitngkan bukan berati kita tidak punya kewajiban membangun dan memajukan bangsa ini. Mulai dari hal kecil, misalnya bila tidak bisa membangun minimal kita menjaga. Menjaga aset bangsa seperti fasilitas umum agar tidak rusak sebelum waktunya. Sungguh banyka kita saksikan fasilitas negara yang dirusak oleh tangan-tang yang tidak bertanggungjawab. Ingatlah, kelak kita diingat bukan karena tingginya jabatan yang kita emban tapi dari perbuatan baik yang kita lakukan.
Keempat, berduyun-duyun. Ikan sulum akan selalu berduyun-duyun kemanapun pergi. Kiranya kita sebagai orang yang rindu akan rasa aman, akan berduyun-duyun bergotong royong dalam menuju dan berbuat kebajikan. Sebaliknya juga akan berduyun-duyun bergotong royong dalam menumpas segala bibit kejahatan, perbuatan buruk dan penyakit masyarakat yang sering meresahkan.
Dengan usaha secara bersama-sama semua akan terasa ringan dan sebuah masalah akan semakin cepat terselesaikan. Penyakit masyarakat seperti judi, zina, minuman keras, narkoba dan lainnya bukanlah hanya tugas Polisi dan pemuka agama untuk memberantasnya. Tapi semua itu merupakan bagian dari tanggungjawab kita bersama sebagai anggota masyarakat.
Setiap warganegara dan siapa saja berhak mendapat rasa aman, nyaman dan damai, maka siapa saja juga berkewajiban untuk menciptakannya. Juga berkewajiban untuk menjaganya agar tidak terkoyak karena perbuatan segelintir orang.
Marilah berduyun-duyun menciptakan suasana yang aman, nyaman, damai dan menuju sejahtera berbangsa dan bernegara. Majulah tanpa menyingkirkan orang lain, berdirilah tanpa merendahkan orang lain, berbuatlah tanpa menunggu orang lain, mengkritiklah tanpa harus menghujat dan mencaci orang lain. Maju bersama dan bersama-sama untuk maju ke arah yang lebih baik.
Semangat gotong royong kini mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman yang semakin realistis dan egois. Kerapkali kita melihat adalah yang tua meremehkan yang muda, kemudian yang muda mencemooh yang tua. Pemangku kekuasaan menindas rakyat, demikian juga rakyatnya senantiasa bersumpah serapah dan mendoakan keburukan bagi pemimpinnya.
Semangat gotong royong (berduyun-duyun) telah mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka. Dengan semangat itu pula negara ini mengalami kemajuan. Maka dengan semangat gotong-royong pula bangsa ini akan utuh dan bermartabat.
Kesimpulan
Ikan sulum memang sudah hampir punah, tapi setidaknya telah mengajarkan kita untuk bagaimana cara hidup yang baik. Menularkan sifat bagaimana cara kita bersikap sebagai warga negara yang hidup dalam sebuah negara. Tidak perlu merasa malu menerima sebuah kebenaran meskipun itu berasal dari seekor ikan. Itulah yang menjadi kelebihan kita sebagai makhluk yang senantiasa berkembang cara berpikirnya. Hari ini harus lebih baik dari hari sebelumnya dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Penulis adalah Guru Pesantren Modern Unggulan Terpadu Darul Mursyid (PDM), Tapanuli Selatan.
* Tulisan ini sudah terbit di Harian Metrotabagasel 28 Spetember 2016
Komentar
Posting Komentar